Langsung ke konten utama

Hanya Doreng yang Bisa Begitu

Doreng merupakan sebuah kata yang berarti tentara dan kata ini pada umumnya sering digunakan oleh orang Solo atau mungkin orang jawa tengah pada umumnya. Menurut asal bahasa mungkin kata doreng berasal dari kata loreng, sedangkan kata loreng sendiri adalah sebuah istilahyang digunakan untuk tentara yang sesuai dengan pakaian mereka antara campuran hijau, hitam dan coklat.

Ulasan singkat dengan doreng mungkin cukup singkat karena memang di artikelku ini tidak akan membahas tentang asal muasal sebuah kata doreng. Isi dari artikel ini adalah sebuah suara hati yang tidak nyaman ketika sebuah simbol dari doreng muncul di kawasan sipil atau masyarakat dan berbuat seenak “udelnya sendiri”, ironis memang tetapi begitulah pada kenyataannya. Beberapa dari mereka menggunakan ketakutan sipil dari sebuah simbol doreng dan anehnya tidak ada yang menegur (biasanya dari Polisi Militer), memang belum di tegur, atau yang lebih parahnya tidak tahu.

Entah memang khusus atau dikhususkan, menurutku di kabupaten Jember ini banyak sekali aku melihat bapak-bapak berpakaian doreng berkeliaran di jalan-jalan. Jika dibandingkan dulu ketika aku tinggal di kota Solo, jarang sekali atau bahkan bisa dibilang tidak pernah aku menemui bapak-bapak berpakaian doreng. Padahal jika melihat kapasitas, di Solo terdapat markas besar Kopasus, pusat latih penerbangan dan markar-markas yang lain tetapi sekalipun aku tidak pernah melihat doreng. Sedangkan di Jember yang aku tahu, kapasitas markas paling tinggi hanya Secaba dan aku bisa melihat berpuluh-puluh pakaian doreng berseliweran di jalan-jalan.

Sebenarnya yang menjadi inti permasalahan adalah bukanlah pakaian doreng mereka tetapi entah kenapa ketika mereka menggunakan pakaian doreng, mereka bersikap rasa-rasanya jalanan hanya milik mereka saja. Pernah suatu ketika aku berkendara di dekat Yon Armed ada doreng-doreng yang melaju menggunakan sepeda motor tanpa mengenakan helm, tetapi tidak ditegur atau tidak ditilang oleh polisi. Padahal jelas-jelas pakaian doreng hanya bisa berkamuflase di daerah hutan, dan enggak banget kalo bapak polisi nggak liat tu’doreng-doreng nggak pake helm. Tak jarang pula bapak-bapak berpakaian doreng ini melanggar rambu lalu-lintas seperti tidak berhenti dilampu merah, berkendara di jalan satu arah di daerah semanggi, berkendara ugal-ugalan, dll.

Ketika sebuah kebiasaan sudah terbentuk maka akan sulit diubah dan seakan-akan akan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi si-pemakai doreng ataupun simbol-simbol yang berhubungan dengannya. Sebenarnya yang lebih parah adalah banyaknya pemakai simbol-simbol yang berhubungan dengan doreng yang tersebar di wilayah jember pada khususnya. Di helm-helm yang berwarna hijau dengan stiker simbol doreng, di kaca-kaca mobil, di plat nomor kendaraan, dll yang seakan-akan simbol doreng telah tersebar luas dan laris manis ‘bak kacang goreng’. Permasalahan akan muncul ketika pemakai simbol bukanlah anggota doreng atau mengaku-ngaku mbahnya dulu seorang doreng, mereka yang hanya bersimbol akan bertindak layaknya doreng yang negatif atau lebih parah dari mereka.

Sebenarnya pangkal dari permasalahan ini adalah sikap mereka di jalan, apabila mereka bersikap disiplin dan tidak seenaknya sendiri, maka masyarakat ‘gue khususnya’ juga tidak akan mempermasalahkan si-doreng. Lebih bijaksana lagi jika tidak menggunakan pakaian doreng ketika berkeliaran di jalan, sedangkan cara seperti razia simbol doreng yang aku tahu sering dilaksanakan di daerah Solo dan biasanya bekerjasama oleh pihak polisi. Cara-cara seperti itu menurutku akan sangat efektif untuk meminimalisir adanya pemakai simbol doreng palsu, yang hanya memanfaatkan kekuatan hukum atas simbol tersebut. Karena jika tidak ada langkah pencagahan aku khawatirkan hal-hal yang seperti mempergunakan simbol doreng akan terus merajalela dan semakin parah dan yakinilah hanya doreng yang bisa begitu.

Secara tidak sengaja maupun sengaja sebenarnya aku yang bodoh ini tidak bermaksud untuk menyudutkan pihak si-doreng tetapi si-doreng sendiri yang sepertinya memang tersudut dan aku tergelitik untuk membahasnya. Maaf jika ada salah kata, salah tulis, atau bahkan salah cari bahan topik untuk dibahas akhirul salam Wassalamuallaikum, Wr. Wb.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jasik

Jasik adalah sebuah ungkapan kasar / umpatan yang sudah sangat biasa terdengar dan digunakan didaerah Jember dan sekitarnya, tetapi dalam tulisan sederhana ini Jasik merupakan ungkapan spontan yang mempunyai sebuah akronim asik. Ada sebuah cerita yang sebenarnya lagi-lagi berhubungan dengan salah satu oknum polisi. Memang bukan ceritaku sendiri tetapi sebuah pengalaman dari seorang teman yang menurutku lumayan menarik untuk aku share kepada ente-ente semua. Sekitar dua tahun yang lalu temanku yang bernama Budi (nama samaran) sedang mengendarai sepeda motornya dari arah salah satu toko buku menuju ke rumah. Sebenarnya dia menyadari bahwa lampu lalu-lintas telah menyala kuning tetapi Budi tetap meneruskan laju motornya dan bahkan menambah kecepatannya. Selang beberapa menit Budi menyadari bahwa dirinya sedang diikuti bapak polisi dan akhirnya memang sesuai tebakannya bahwa intinya si-Budi dianggap melanggar lampu lalu-lintas. Maka digelandanglah si-Budi ke arah Pos Polisi terdekat dan di

Ini Motor Gue...

Selama kurang lebih satu tahun aku telah menempuh kuliah di Jember dan faktanya banyak sekali hal-hal yang lumayan menarik untuk di ceritakan. Salah satunya adalah ketika aku melihat para bikers yang selalu setia dengan tunggangannya, tidak semuanya sama, ya! Maka dari itu dari beberapa pengendara motor tersebut aku membuat tipe pengendara yang sesuai dengan motor kesayangan masing-masing, berikut ulasan singkatnya : 1. Tipe Pengendara Bijak. Tipe-tipe seperti ini adalah pengendara yang selalu taat pada aturan yang berlaku. Motor masih standar dari pabrik, menggunakan helm SNI, bersarung tangan, kaca mata hitam, bahkan menggunakan bagasi tambahan, dsb. Tetapi tak jarang juga terlihat sangat repot dengan berbagai hal yang tertempel maupun terpasang di motor sehingga terkadang orang-orang menilai tipe pengendara tersebut tipe pengendara yang sangat rempong. 2. Tipe Pengendara Dungu. Tipe-tipe seperti ini adalah tipe pengendara yang selalu berfikir bahwa semua orang di sekitar dia adalah

Dari Nama aja udah Salah

Banci, bencong, waria atau apapun sebutan mereka, sebenarnya tidak pantas bagi kita untuk membedakan dalam lingkungan sosial. Secara medis mereka disebut dengan orang yang mempunyai kepribadian ganda. Kepribadian ganda bukanlah penyakit tetapi dikategorikan sebagai kelainan. Jika beberapa orang berfikir bahwa mereka mempunyai disorientasi seksual, sebenarnya tidak juga. Disorientasi seksual lebih tepat bagi mereka yang homoseksual, ekshibisionisme, ataupun pelaku sodomi. Cara pandang kita memang berbeda tapi bukan berarti kita harus selalu mengolok-olok mereka dengan cara yang tidak sopan. Apalagi jika cara pandang kita salah. Bencis' Juga Manusia lho ya. Pandanglah mereka seperti manusia apa adanya, toh mereka tidaklah menggangu kehidupan pribadi kita. Satu hal lagi yang perlu kita lihat lebih dekat adalah cara penilaian kita terhadap orang-orang yang mempunyai kelainan seksual seperti mereka (di atas). Jika kita mendengar sebuah kata ‘banci’ maka yang ada dibenak pikiran kit