
Ulasan singkat dengan doreng mungkin cukup singkat karena memang di artikelku ini tidak akan membahas tentang asal muasal sebuah kata doreng. Isi dari artikel ini adalah sebuah suara hati yang tidak nyaman ketika sebuah simbol dari doreng muncul di kawasan sipil atau masyarakat dan berbuat seenak “udelnya sendiri”, ironis memang tetapi begitulah pada kenyataannya. Beberapa dari mereka menggunakan ketakutan sipil dari sebuah simbol doreng dan anehnya tidak ada yang menegur (biasanya dari Polisi Militer), memang belum di tegur, atau yang lebih parahnya tidak tahu.
Entah memang khusus atau dikhususkan, menurutku di kabupaten Jember ini banyak sekali aku melihat bapak-bapak berpakaian doreng berkeliaran di jalan-jalan. Jika dibandingkan dulu ketika aku tinggal di kota Solo, jarang sekali atau bahkan bisa dibilang tidak pernah aku menemui bapak-bapak berpakaian doreng. Padahal jika melihat kapasitas, di Solo terdapat markas besar Kopasus, pusat latih penerbangan dan markar-markas yang lain tetapi sekalipun aku tidak pernah melihat doreng. Sedangkan di Jember yang aku tahu, kapasitas markas paling tinggi hanya Secaba dan aku bisa melihat berpuluh-puluh pakaian doreng berseliweran di jalan-jalan.
Sebenarnya yang menjadi inti permasalahan adalah bukanlah pakaian doreng mereka tetapi entah kenapa ketika mereka menggunakan pakaian doreng, mereka bersikap rasa-rasanya jalanan hanya milik mereka saja. Pernah suatu ketika aku berkendara di dekat Yon Armed ada doreng-doreng yang melaju menggunakan sepeda motor tanpa mengenakan helm, tetapi tidak ditegur atau tidak ditilang oleh polisi. Padahal jelas-jelas pakaian doreng hanya bisa berkamuflase di daerah hutan, dan enggak banget kalo bapak polisi nggak liat tu’doreng-doreng nggak pake helm. Tak jarang pula bapak-bapak berpakaian doreng ini melanggar rambu lalu-lintas seperti tidak berhenti dilampu merah, berkendara di jalan satu arah di daerah semanggi, berkendara ugal-ugalan, dll.
Ketika sebuah kebiasaan sudah terbentuk maka akan sulit diubah dan seakan-akan akan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi si-pemakai doreng ataupun simbol-simbol yang berhubungan dengannya. Sebenarnya yang lebih parah adalah banyaknya pemakai simbol-simbol yang berhubungan dengan doreng yang tersebar di wilayah jember pada khususnya. Di helm-helm yang berwarna hijau dengan stiker simbol doreng, di kaca-kaca mobil, di plat nomor kendaraan, dll yang seakan-akan simbol doreng telah tersebar luas dan laris manis ‘bak kacang goreng’. Permasalahan akan muncul ketika pemakai simbol bukanlah anggota doreng atau mengaku-ngaku mbahnya dulu seorang doreng, mereka yang hanya bersimbol akan bertindak layaknya doreng yang negatif atau lebih parah dari mereka.
Sebenarnya pangkal dari permasalahan ini adalah sikap mereka di jalan, apabila mereka bersikap disiplin dan tidak seenaknya sendiri, maka masyarakat ‘gue khususnya’ juga tidak akan mempermasalahkan si-doreng. Lebih bijaksana lagi jika tidak menggunakan pakaian doreng ketika berkeliaran di jalan, sedangkan cara seperti razia simbol doreng yang aku tahu sering dilaksanakan di daerah Solo dan biasanya bekerjasama oleh pihak polisi. Cara-cara seperti itu menurutku akan sangat efektif untuk meminimalisir adanya pemakai simbol doreng palsu, yang hanya memanfaatkan kekuatan hukum atas simbol tersebut. Karena jika tidak ada langkah pencagahan aku khawatirkan hal-hal yang seperti mempergunakan simbol doreng akan terus merajalela dan semakin parah dan yakinilah hanya doreng yang bisa begitu.
Secara tidak sengaja maupun sengaja sebenarnya aku yang bodoh ini tidak bermaksud untuk menyudutkan pihak si-doreng tetapi si-doreng sendiri yang sepertinya memang tersudut dan aku tergelitik untuk membahasnya. Maaf jika ada salah kata, salah tulis, atau bahkan salah cari bahan topik untuk dibahas akhirul salam Wassalamuallaikum, Wr. Wb.
Komentar
Posting Komentar